Title : Sunset Besama Rosie
Author : Tere Liye
Publisher : Republika
Pages ; 425
“Dan
kelak kau akan menyadari, dua puluh tahun dari sekarang kau akan lebih menyesal
atas apa – apa yang tidak pernah kau kerjakan dibandingkan atas apa – apa yang
kau kerjakan”
Dalam novel ini, penulis Tere liye dengan sangat berhasil sekali membawa
pembacanya ke dalam bentuk pemahaman baru tentang arti kesempatan, perasaan
serta cinta?
Sebenarnya, apakah itu perasaan? Keinginan? Rasa memiliki? Rasa sakit, gelisah, sesak,
tidak bisa tidur, kerinduan, kebencian? Bukankah dengan berlalunya waktu
semuanya seperti gelas kosong yang berdebu, begitu – begitu saja, tidak
istimewa. Malah lucu serta gemas saat dikenang.
Sebenarnya, apakah pengorbanan
memiliki harga dan batasan? Atau Priceless,
tidak terbeli dengan uang, karena kita lakukan hanya untuk sesuatu yang
amat spesial diwaktu yang juga spesial? Atau boleh jadi gratis. Karena kita lakukan saja dan selalu menyenangkan untuk
dilakukan berkali – kali.
Sebenarnya, apakah itu arti
”kesempatan”? Apakah itu makna ”keputusan”? Bagaimana mungkin kita terkadang
menyesal karena sebuah ”keputusan” atas sepucuk ”kesempatan”? Sebenarnya,
siapakah yang selalu pantas kita sayangi?
Pertanyaan – pertanyaan diatas
tidaklah memerlukan jawaban langsung dari lisan kita, karena justru waktu dan
reaksi kita terhadap pertanyaan – pertanyaan itu jauh lebih bisa menjelaskan.
Ya, waktu.. Kita akan mendapati sebuah pemahaman baru terhadap arti waktu
ketika kita terbawa oleh jalan cerita novel ini, seperti yang selalu menjadi
sebuah keyakinan dari tokoh utama novel ini, Tegar. Ia selalu menegaskan
keyakinannya akan makna waktu:
Bagiku waktu selalu pagi, diantara potongan dua puluh empat jam dalam
sehari, bagiku pagi adalah waktu yang paling indah. Ketika janji – janji baru
muncul seiring embun menggelayut diujung dedaunan. Ketika harapan – harapan
baru merekah bersama kabut yang mengambang di persawahan hingga nun jauh di
kaki pegunungan. Pagi, berarti satu hari yang melelahkan terlampau lagi. Pagi,
berarti satu malam dengan mimpi – mimpi yang menyesakkan terlewati lagi; malam
– malam panjang, gerakan tubuh bresah, kerinduan, dan helaan napas tertahan.
Tegar begitu meyakini keajaiban pagi, pagi baginya
merupakan sebuah harapan baru yang muncul seiring dengan hangatnya sinar matahari yang
mulai memeluk bumi, pagi baginya adalah kanvas putih yang dianugrahkan Tuhan untuk dilukis, dihias sesuai apa yang diinginkan, Pagi baginya merupakan waktu ampuh untuk melawan kenyataan yang begitu teramat menyesakkan, begitu menyakitkan, ketika rasa yang bertahun – tahun lamanya tumbuh harus berguguran hanya dalam hitungan
waktu singkat.
Ia pernah begitu menyesal ketika ia tidak bisa
berbuat apa – apa atas apa yang seharusnya ia perbuat, atas apa yang seharusnya
ia perjuangkan. Rosie yang begitu ia inginkan. Yang telah ia kenal sedari kanak
– kanak, mereka tumbuh bersama, bermain bersama sampai pada akhirnya ada sebuah
rasa yang tumbuh dalam hatinya, sebuah rasa spesial yang membuatnya sadar
bahwa: ia mencintai Rosie.
Ia putus asa, ia mencoba mencari sebuah pelarian
atas sebuah kesempatan yang pernah ia sia – sia kan , ia meratapi sedih atas
kesempatan yang ia lewatkan. Namun disini, tere liye seolah ingin mengatkan
kepada pembaca bahwa justru: kita akan lebih menyesal atas apa – apa yang tidak
pernah kita kerjakan dibandingkan atas apa – apa yang kita kerjakan. Tegar
telah merasakan bagaiman ia begitu menyesal telah menyia-nyiakan sebuah
kesempatan, namun bukan berarti kesempatan tidak akan pernah terulang, yah kita
selalu mempunyai kesempatan untuk memperbaiki diri dengan berbagai kesempatan
baru yang selalu di anugrahkan Tuhan kepada kita, namun kesempatan dalam artian
dan pengertian yang berbeda dari yang kita harapkan sebelumnya.
Kisah ini mengajarkan kita bahwa kita selalu
mempunyai kesempatan jika kita benar – benar meyakininya, sebagaimana mawar
yang dapat tumbuh ditegarnya karang, jika kau menghendakinya tumbuh!