Sabtu, 22 Juni 2013

Hei Bung, Revolusi Kita belum Selesai


Kepada Yth. Ir Soekarno
Penyambung Lidah Rakyat Indonesia


Selamat malam Bung,
Maaf aku mengganggumu, aku hanya ingin sedikit berbicara padamu.

Hei Bung, kamu masih ingat Chairil Anwar, ya sastrawan terkenal itu, iya pernah membuat puisi untukmu, aku harap kau masih mengingatnya, ah... kalau pun engkau lupa, aku tulis kembali untukmu.

Ayo ! Bung Karno Kasi Tangan Mari Kita Bikin Janji
 Aku Sudah Cukup Lama Dengan Bicaramu
 Dipanggang Diatas Apimu, Digarami Lautmu
 Dari Mulai Tgl. 17 Agustus 1945

 Aku Melangkah Ke Depan Berada Rapat Di Sisimu
 Aku Sekarang Api Aku Sekarang Laut
 Bung Karno ! Kau Dan Aku Satu Zat Satu Urat
 Di Zatmu Di Zatku Kapal-Kapal Kita Berlayar
 Di Uratmu Di Uratku Kapal-Kapal Kita Bertolak & Berlabuh
(Persetujuan Dengan Bung Karno)


Ternyata engkau punya janji, sebuah janji revolusi, dan revolusi itu belum selesai!

Dulu kau pernah menggarami kami dengan api kemerdekaan, dengan api revolusi, dalam pengadilan Belanda di Bandung, engkau meneriakkan “Indonesia Menggugat” ketika Inodnesia itu sendiri belum terlahir ke dunia ini, kau menggelegar mengkritik kolonialisme dan imperialisme terhadap Nusantara, tapi taukah sekarang Bung, kita belum sepenuhnya merdeka, kita masih terjajah, mereka masih berkuasa Bung, Mereka menanamkan modalnya yang mengakar untuk menjarah apa yang kita punya, sumber daya alam kita habis, dan kita menjadi pembantu dirumah sendiri,  Revolusi kita belum Selesai, Bung!

Kau juga pernah bicara tentang Kebhinekaan, ah... Taukah kau, setelah kepergianmu yang mengejutkan itu, Negara kita telah terjadi banyak pertumpahan darah, peristawa pengahabisan eks anggota PKI, peristiwa Malari, perseteruan antar dayak dan Madura, peristiwa Poso, dan banyak lagi.
Masih banyak yang belum mengerti arti kebhinekaan yang kau jelaskan, Pancasila seolah menjadi yatim piatu tanpa engkau, ayo Bung bantu kami, karena Revolusi kita belum selesai!

Lalu aku pernah membaca tulisanmu mengenai Islam, Agama yang sangat kau cintai.
Engkau pernah menulislkan kekagumanmu kepada Muhammad dan ajarannya yang memuliakan manusia, yang memerdekaan manusia, ya aku sangat mengagumi tulisanmu itu Bung, Engkau Lalu mengkritik tentang pemahaman islam yang direduksi / dipersempit oleh sebagian ulama, ya puncaknya ketika engkau bicara tentang “Api Islam” dan “Islam Sontoloyo”.  Aku beri tau padamu, masih segelintir orang yang memahami ruhnya islam yang menerangi, ruhnya islam yang merahmati semua alam dan masih terlalu banyak kaum – kaum “sontoloyo” yang masih berkeliaran Bung, mereka mecoba memonopoli kebenaran hanya dalam sisi mereka, ya mereka seolah yang memegang tiket sorga, mereka masih saja meneriakkan nama Tuhan sambil memukul dan membunuh, ayo Bung! Dimana engkau sekarang, mana Tulisan – tulisanmu, ayo kita gelorakan kembali islam yang rahmatan lil ‘alamin, ayo Bung, Revolusi Kita belum Selesai!

Hei Bung Karno, engkau yang pernah menggelorakan semangat kami, dengan berteriak : “Hei Rakyat Indonesia, Ini dadaku, mana dadamu” engkau juga pernah mengatakan: “Go To Hell with your Aid” ketika kedaulatan kita terancam,. Sekarang kita terancam kembali Bung atas kedaulatan kita, kita terancam atas ekonomi, atas politik, atas kedaulatan. Dan sekali lagi saya katakan kepadamu, bahwa Revolusi kita belum selesai!

Ayo Bung Karno seperti kata chairil Anwar pada puisinya, engkau sudah terlanjur menggarami kami dengan lautmu, kau panggang kami dengan api semangatmu, engkau kobarkan kami dibawah bendera revolusimu, ayo kita selesaikan!!!

Hei, dulu pernah kau mengatakan: "seribu orang tua hanya bisa bermimpi, beri aku sepuluh pemuda, maka aku akan mengguncangkan dunia".  Ini kami Bung, kami siap menerima tantanganmu, ini dada kami, ini jiwa kami ayo kita teriakkan kembali semangat  "Merdeka atau Mati" .

Ah sudahlah mungkin kau sudah terlalu lelah, tapi aku katakan sekali lagi: REVOLUSI KITA BELUM SELESAI!

Selasa, 04 Juni 2013

Pendidikan Yang Berkarakter!




Seorang Terpelajar sudah seharusnya bersikap adil, sudah sejak alam pikiran, apalagi dalam perbuatan
(Pramoedya Ananta Toer)

Pendidikan merupakan indikator kemajuan suatu bangsa. Suatu bangsa yang memiliki system pendidikan yang baik tentunya akan mempunyai sumber daya manusia yang mumpuni untuk membangun negeri, ada Negara besar yang terpuruk karena system pendidikannya buruk, namun adapula Negara dengan sumber daya terbatas namun mempunyai system pendidikan yang baik mampu menjadi Negara yang maju baik dari segi ekonomi maupun teknologi.

Dalam pengertian ini, akan terasa wajar apa yang pertama kali ditanyakan seorang kaisar jepang pasca bom nagasaki dan hirosima yang meluluhlantakkan Jepang dan juga menjadi akhir perang dunia !!: “Berapa jumlah guru yang tersisa dinegeri kita?’ ujar sang kaisar. Disini ada self awareness dalam diri sang Kaisar untuk kembali membangun negerinya, dimulai dari mencerdaskan bangsanya. Dan kenyataan hari ini menunjukkan tidak butuh lama bagi Jepang untuk menjadi salah satu gerbong terdepan negara maju dengan berbagai buah intetektual masyarakatnya.

Dalam konteks ini, saya mencoba mengulas sistem pendidikan Indonesia pada masa Hindia Belanda yang kurikulumnya mengacu pada system pendidikan Belanda, yang menurut saya dapat kita contoh dan terapkan untuk system pendidikan Indonesia dewasa ini. Banyak intelektual – intelektual Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan lahir dari kalangan cerdik pandai hasil didikan sekolah Indonesia bentukan Hindia Belanda. Sebut saja Agus Salim, Soekarno, Muhammad Hatta, Syahrir, dll. Bahkan Hatta dan Syahir merupakan lulusan dari Universitas di Belanda.

Pendidikan pada masa itu, walaupun di masa Indonesia belum merdeka namun mampu menciptakan kesadaran moral dan intelektual bagi para pelajarnya. Dan secara kualitas pun pendidikan setara SMP pada masa itu MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau HBS (Hogere Burger School) yang setara SMA, lulusannya minimal menguasai 3 bahasa asing: Belanda, Inggris dan Prancis. Dapat kita bayangkan betapa luar biasanya lulusan  universitas jika lulusan sekolah menengahnya saja seperti itu.

Apa yang menjadi perbedaan dasar dari system pendidikan dahulu dan sekarang?. Dalam tetralaogi Buru pada novel Boemi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang menceritakan kehidupan kaum terpelajar pribumi masa Hindia Belanda ada beberapa hal yang membedakan kualitas pendidikan pada masa itu dan sekarang.

Pertama, Sistem Pendidikan yang mengekplorasi kreatifitas. Dengan kreatifitas kita dapat melakukan sesuatu yang berbeda dari yang biasa dilakukan oleh orang kebanyakan, kreatifitas menuntut kita untuk selalu berfikir untuk memecahkan sesuatu masalah dengan berbagai macam cara, dengan berbagai macam sudut pandang. Dan system pendidikan yang mengeksplorasi kreatifitas inilah yang ada masa Hindia Belanda dahulu dan belum muncul pada masa pendidikan sekarang. Dalam Bahasa Einstein: “Imagination is more than important than knowladge, knowladge can take a person to move from a to b, but imaginations can take a person from a to everywhere thet want”

Kedua, Sistem pendidikan yang memerdekakan pikiran, pada masa Hindia Belanda, seperti yang diceritakan Pramoedya dalam novelnya memberikan kebebasan penuh kepada pelajarnya untuk mengemukakan pendapatnya, diskusi ilmiah pada masa itu merupakan kegiatan yang lebih mendominasi dibandingkan dengan kegiatan belajar lainnya. Guru bertindak sebagai fasilitator yang menengahi dan sebatas memberikan Brain Storming, selebihnya merupakan kesempatan siswa untuk menyatakan apa yang menjadi pendapatnya. Dengan pendekatan eksplorasi pemikiran dengan memberanikan seseorang untuk mengeluarkan idenya dengan cara yang terstruktur akan dapat mengasah seorang untuk melihat suatu permasalahan dengan berbagai sudut pandang, sehingga sikap toleran akan terbentuk dan tertanam dalam mengahdapi berbagai perbedaan pandangan.
Saya teringat betapa menariknya korespondensi antara Soekarno dan Natsir yang mendiskusikan tentang Islam dan Modernitas, atau Korespondensi antara Soekarno dan Hatta mengenai Nasionalisme. Mereka berbeda pandangan, namun mampu dengan elok membahsakan perbedaan pendapat mereka dalam suatu korespodensi melalui media masa sehingga, masyarakat mampu membaca darimana awal suatu pemikiran terbentuk, awal suatu sudut pandang mampu berubah menjadi suatu sikap.

Ketiga, Sistem Pendidikan dengan budaya iterasi, budaya menulis dan membaca.  Karena kemampuan mengekspresikan ide dalam bentuk tulisan adalah sebuah bukti mutlak bangsa berperadaban tinggi. Menulis berbagai hal, menuliskan ide-ide besar, menulis tentang sains, budaya, seni. Sejarah mencatat, semua bangsa besar adalah bangsa yang gemar menulis dan membaca. Pada masa pendidikan era Hindia Belanda kita akan temui banyak sekali surat kabar yang memuat tulisan – tulisan kaum terpelajar. Nama – nama seperti Hatta, Soekarno, Kartini, Natsir, dan banyak lagi adalah mereka yang banyak mengemukakan pendapatnya melalui tulisan.

Dengan ketiga perbedaan yang dijelaskan diatas, kita tidak usah sungkan untuk mengadopsi system pendidikan Negara lain atau kembali mencontoh sistem pendidikan dimasa lalu untuk dimodifikasi dan di interpretasikan dalam konteks Indonesia sekarang. Ketika Indonesia masih dalam keadaan terjajah system pendidikannya mampu melahirkan intetektual terpelajar yang memerdekakan maka harusnya ketika Indonesia sudah merdeka, Intelektual pelajar yang dihasilkan system pendidikan Indonesia bisa jauh lebih baik dari dahulu.

Finish!