Pada tahun 1862, Victor Hugo
menulis sebuah karangan Epic berjudul Les Miserables. Dalam karangannya Hugo
mengatakan ”Siapa tahu matahari seorang yang buta, matahari bisa begitu terang,
tapi begitu jauh dan tak peduli kesengsaraan manusia. Kita dalam banyak hal
sering kali bertindak seperti matahari dalam representasi Hugo, bisa begitu
peduli namun disaat bersamaan begitu jauh dari kepedulian.
source: http://koranjurnal[dot]esy[dot]es |
Di
Indonesia dewasa ini, di era kesadaran nasional sudah tumbuh dan berkembang,
kita dengan mudahnya menyaksikan di televisi, baik analog maupun tv kabel, banyak
gerakan kepemudaan yang muncul di berbagai bidang, tak terkecuali bidang
pendidikan. Di satu sisi kita dibuat kagum dengan gerakan-gerakan kepedulian
seperti Indonesia Mengajar, Kelas Inspirasi, Seribu Guru dan beragam gerakan
kepedulian dalam dunia pendidikan lainnya. Kita mulai sadar bahwa meskipun
secara konstitusional pendidikan adalah tanggung jawab negara. Namun secara
moral, pendidikan adalah kewajiban kaum terdidik. Adakah mereka yang tergerak
dalam beragam komunitas tersebut Pahlawan pendidikan?.
Pahlawan
memiliki banyak makna, namun dari beragam makna tentang kepahlawan yang ada,
saya pribadi lebih menyepakati definisi pahlawan dalam makna yang disampaikan
oleh Soe Hok Gie (1942-1949): ”Dan seorang pahlawan adalah seorang yang
mengundurkan diri untuk dilupakan seperti kita melupakan yang mati untuk
revolusi” (Catatan Seorang Demonstran, h. 93). Dalam kehidupan sekarang
ini, saya melihat sosok pahlawan (local hero) dalam definisi diatas, Pahlawan sebenarnya, made for mind dalam sosok guru
honorer.
Dunia
pendidikan Indonesia, sedikit banyak terbantu akan kehadiran guru honerer yang
ada di tiap-tiap daerah, dimana mereka mengabdi dalam berbagai keterbatasan
tidak dalam hitungan hari ataupun bulan,
namun hampir setengah dari umur mereka dihabiskan untuk mendidik anak bangsa
yang tak tersentuh pemerintah. Dan kita jangan pernah bertanya tanda jasa apa
yang mereka dapat.
Jumlah Guru Indonesia source: BPSDMPK-PMP, LSM Sapulidi, Maret 2015
Keterangan:
Guru Honda = Guru Honorer Daerah
GTT = Guru tidak tetap
GTY = Guru tetap yayasan
|
Menurut sumber yang menyebutkan, bahwa jumlah tenaga pengajar di Indonesia saat ini mencapai 1,1 juta. Ini menunjukkan Indonesia masih kekurangan tenaga pengajar yang cukup banyak. Ketua umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistyo mendesak pemerintah untuk meggaji guru honorer secara layak bila memang belum bisa mengangkat mereka menjadi pegawai negeri sipil.
Ibu Yustati, seorang guru honorer di SD Negeri 85 Palembang Source: dokumen pribadi |
Seperti
yang saya saksikan sendiri disekolah dasar dikawasan 10 Ulu Palembang, Sumatra
Selatan. Seorang perempuan paruh baya, berjalan dari menempuh jarak 8 KM pulang
pergi untuk menajar, mendidik anak bangsa, Ibu Yustati memasuki usianya yang ke
43, lebih dari 20 tahun mengabdi sebagai guru honorer di Sekolah Dasar Negri 85 Palembang. Pernah suatu ketika saya
beranikan diri untuk bertanya : ”Maaf Bu Yustati, di usia pengabdian ibu
yang lebih dari 20 tahun, berapa penghasilan yang ibu terima tiap bulannya?” ia
jawab: ”alhamdulillah nak, 3 tahun terakhir mengalami peningkatan, sekarang
hampir mencapai lima ratus ribu rupiah per bulan, sebelum itu sekitar tiga
ratus ribu rupiah per bulan”.
Ibu Yustati sedang melakukan kegiatan Belajar Mengajar di kelas Source: dokumen pribadi |
Lebih
dari 20 tahun usia pengabdiannya, tiap bulan hanya memperoleh Rp.500.000/bulan
artinya setiap hari dari ilmu dan usahanya, ia hanya dibayar tidak sampai Rp.
18.000/hari. Suatu kondisi yang perlu kita carikan solusi bersama. Kalau disatu
sisi kita begitu mengagumi gerakan pendidikan kepemudaan yang membantu
pendidikan, kenapa kita kurang mempedulikan salah satu komponen penting dalam
pendidikan indonesia, Guru honorer. Benarlah mungkin keprihatinan Hugo yang ia
tumpahkan dalam novel epicnya: Les Miserables.
Ibu Yustati, 20 tahun mengabdi sebagai guru honorer source: dokumen pribadi |
Ibu
Yustati adalah sosok local hero yang hadir dan terlupa, atau sengaja
dilupakan. Dan saya yakin diberbagai macam daerah banyak sosok-sosok serupa Ibu
Yustati yang mengabdikan hampir seluruh diusia produktifnya untuk mengajar,
mendidik, mencerdakan anak bangsa. Mereka sosok pahlawan seperti yang
disampaikan Soe Hok Gie, yang mengundurkan diri untuk dilupakan seperti kita
melupakan yang mati untuk revolusi. mereka tak punya bintang jasa, tanpa
pangkat, tanpa tanda apapun.