“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami.
Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan.
Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang
hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan
mencintai tanah air Indonesia
dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari
dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan
fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
(Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran)
Entah apakah
setelah membaca inspirasi dari Soe hok gie atau pengalaman Doni Dhirgantoro
dalam 5 cm, saya ingin sekali melakukan petualangan untuk menjelajahi puncak
gunung, mengenal Indonesia dari dekat, kalaulah boleh meminjam istilah Gie.
Dan tiba – tiba
tawaran itu datang, dari seorang sahabat, lalu dengan yakinnya, tanpa
pengalaman sedikitpun yang saya punya sebelumnya, dan berbagai keterbatasan
waktu, dana dan lainnya, saya langsung mengiyakan ajakan tersebut, mungkin juga
kata iya itu keluar karena lagi – lagi terinspirasi dari film Gie, Gie yang
memutuskan untuk naik gunung ketika sedang patah hati.
Lalu, persiapan
demi persiapan dilakukan, mencari pinjaman sleeping bag, matras, jaket tebal,
topi kupluk dan kesemua perlengkapan itu hasil dari pinjeman dari teman –
teman, dan tak lupa mencari tiket promo termurah yang ada untuk meminimalisir pengeluaran
perjalanan nantinya.
Dan dengan
segala macam persiapan yang telah dilakukan, sekitar jam 9 malam bertolak dari
setiabudi Jakarta,
kita berangkat menuju Sukabumi untuk memulai petualangan, jam 2 malam tiba di
dasar kaki gunung gede, dengan kondisi cuaca yang dibawah normal tentunya,
dapat teman – teman bayangkan berapa suhu udara yang membuat nafas yang keluar seperti
layaknya orang yang merokok. It was so cool.
Perjalanan
dimulai esok paginya ketika matahari tersenyum cerah penuh kehangatan, dan dua
hari setelah itu barulah kami dapat kembali menyaksikan kehangatan mentari
karena dalam perjalanan menuju puncak gunung gede dan pangrango itu matahari
seolah bersembunyi dibalik rindangnya pepohonan dan gumpulan awan yang nampak
mendung dan syahdu.
Perjalanan yang
pada awalnya seolah berjalan lancar namun terjadi sedikit keanehan, kami tidak
pernah bertemu dengan pendaki lainnya yang seharusnya banyak lalu lalang di
area pendakian tersebut, ternyata untuk mencapai puncak gunung gede dan gunung
pangrango, bisa dilalui dengan berbagai jalur, jalur gunung putri, jalur
cibodas dan jalur sukabumi, dan sialnya jalur sukabumi yang kami pilih
merupakan jalur terberat diantara ketiga jalur yang ada.
Dengan jalur
yang berkelok dan tidak rata ditambah dengan hujan yang mulai turun perlahan,
lalu berubah menjadi begitu derasnya membuat pendakian semakin berat, satu
persatu tim yang ada mulai mengalami cedera, sehingga hampir setiap orang
memikul 2 tas beban untuk membantu mengurangi beban rombongan yang mengalami
cedera.
Finally, jam 5 sore kita tiba di alun –
alun surya kencana, tempat dimana ketiga jalur pendakian tadi bertemu, berbeda
dengan kondisi ketika pendakian tadi, di alun – alun surya kencana ini dipenuhi
dengan berbagai pendaki lainnya dengan bergam latar belakang, entah kenapa kita
seolah – olah sudah saling kenal padahal baru pertama kali bertemu disana.
Mungkin karena rasa persaudaraan itu timbul karena sama – sama merasakan hal
yang sama ketika proses pendakian. Untold
story.
Perjalanan lalu
dilanjutkan keesokan paginya, mengingat sore dan malam itu hujan turun dengan
frekuensi yang bersenandung syahdu sampai fajar tiba. Dipagi hari perjalanan
dilanjutkan dan syukur alhamdulillah setelah dua jam perjalanan dari alun –
alun surya kencana, kita berhasil menggapai puncak gunung.
First Experience yang penuh dengan cerita dan kenangan, dan diakhir tulisan ini saya ingin kembali meminjam puisi Gie, "Aku cinta padamu pangrango yang gelap dan sepi, karena aku cinta pada keberanian hidup"
Padang Edelweis
Peralatan Tempur
Alun - alun surya kencana