Pemira [Pemilhan Raya] dapat dikatakan sebuah hajatan pesta demokrasi dalam miniatur kampus yang memberikan ruang kebebasan sepenuhnya bagi para setiap warganya untuk berpartisipati pada hajatan tersebut, Demokrasi idealnya memberikan ruang kebebasan yang bertanggung jawab bagi berkembangnya setiap macam bentuk pemikiran, bukan malah memasung bahkan membunuh setiap bibit - bibit pemikiran yang berbeda.
Untuk kasus Indonesia setidaknya pernah mengalami model demokrasi yang hanya sebatas wacana, peiode pertama setelah dekrit presiden Soekarno di tahun 1959 yang menandai dimulainya sistem Demokrasi Terpimpin, dan yang kedua pada masa Orde Baru yang menggunakan cover Demokrasi Pancasila, pada kedua periode tersebut pdapat kita saksikan bahwa demokrasi hanyalah sebatas wacana, sebatas penegasan status quo rezim otoritarian.
Pada kasus Demokrasi Terpimpin, politik dikendalikan oleh penguasa tunggal, peran oposisi diminimalisir kalau tidak dihabisi, PSI dan syahrir dilikuidasi, Pedoman Masyarakat yang dipimpin Hamka dihabisi karena memuat artikel Hatta "Demokrasi Kita". Muhammad Natsir dalam kritiknya menegaskan "Semua akan kita jumpai pada demokrasi sistem ini kecuali demokrasi itu sendiri".
Setali dengan era Demokrasi Terpimpin Seokarno, Demokrasi Pancasila yang diagungkan Soeharto tidak lebih dari rezim monarki, yang hanya berorientasi pribadi, tidak membiarkan oposisi untuk bernyayi. Apatisme masyarakat adalah bukti dari hasil karya demokrasi sistem ini.
Dengan contoh dua masa demokrasi tersebut, di kampus - kampus masih sering kita jumpai, dimana demokratisasi hanya sebatas wacana, beum menyentuh substansi. setidaknya itu yang saya lihat dikampus saya, Unsri. dalam kepemimpinan pusat kampus Bem Unsri demokrasi masih sebatas mimpi, dimana kran demokrasi dibuka seluas - luasnya namun bermacam ideologi tidak dibiarkan untuk melewati kran tersebut.
Kalau Orde baru selama hampir 32 tahun dipimpin oleh penguasa tanpa suksesi maka di Unsri, setiap tahun ada suksesi namun sama secara subtansi. Bukan berarti secara kepemimpinan buruk, saya katakan tidak, bisa jadi baik bahkan sangat baik tapi iklim yang tercipta tidak memberikan ruang bagi tumbuhnya proses demikratisasi bagi setiap ideologi. Tapi apaguna pesta demokrasi, kalau hanya sebatas sebuah penegasan atas status quo sebuagh ideologi terhadap ideologi lainnya.
Kalaulah keadaan ini terus berkembang maka pendepat Muhammad Natsir nampaknya masih relevan dengan keadaan ini,
"Semua akan kita jumpai pada demokrasi sistem ini kecuali demokrasi itu sendiri".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar...