Selasa, 15 Mei 2012

Belajar Pada Sistem Pendidikan Belanda, Pendidikan yang Memerdekakan!


Pendidikan merupakan indikator kemajuan suatu bangsa. Suatu bangsa yang memiliki system pendidikan yang baik tentunya akan mempunyai sumber daya manusia yang mumpuni untuk membangun negeri, ada Negara besar yang terpuruk karena system pendidikannya buruk, namun adapula Negara dengan sumber daya terbatas namun mempunyai system pendidikan yang baik mampu menjadi Negara yang maju baik dari segi ekonomi maupun teknologi.

Dalam konteks ini, saya mencoba mengulas sistem pendidikan Indonesia pada masa Hindia Belanda yang kurikulumnya mengacu pada system pendidikan Belanda, yang menurut saya dapat kita contoh dan terapkan untuk system pendidikan Indonesia dewasa ini. Banyak intelektual – intelektual Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan lahir dari kalangan cerdik pandai hasil didikan sekolah Indonesia bentukan Hindia Belanda. Sebut saja Agus Salim, Soekarno, Muhammad Hatta, Syahrir, dll. Bahkan Hatta dan Syahir merupakan lulusan dari Universitas di Belanda.

Pendidikan pada masa itu, walaupun di masa Indonesia belum merdeka namun mampu menciptakan kesadaran moral dan intelektual bagi para pelajarnya. Dan secara kualitas pun pendidikan setara SMP pada masa itu MULO(Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau HBS (Hogere Burger School) yang setara SMA, lulusannya minimal menguasai 3 bahasa asing: Belanda, Inggris dan Prancis. Dapat kita bayangkan betapa luar biasanya lulusan  universitas jika lulusan sekolah menengahnya saja seperti itu.

Apa yang menjadi perbedaan dasar dari system pendidikan dahulu dan sekarang?. Dalam novel Boemi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang menceritakan kehidupan kaum terpelajar masa Hindia Belanda ada beberapa hal yang membedakan kualitas pendidikan pada masa itu dan sekarang.

Pertama, Sistem Pendidikan yang mengekplorasi kreatifitas. Dengan kreatifitas kita dapat melakukan sesuatu yang berbeda dari yang biasa dilakukan oleh orang kebanyakan, kreatifitas menuntut kita untuk selalu berfikir untuk memecahkan sesuatu masalah dengan berbagai macam cara, dengan berbagai macam sudut pandang. Dan system pendidikan yang mengeksplorasi kreatifitas inilah yang ada masa Hindia Belanda dahulu dan belum muncul pada masa pendidikan sekarang.

Kedua, Sistem pendidikan yang memerdekakan pikiran, pada masa Hindia Belanda, seperti yang diceritakan Pramoedya dalam novelnya memberikan kebebasan penuh kepada pelajarnya untuk mengemukakan pendapatnya, diskusi ilmiah pada masa itu merupakan kegiatan yang lebih mendominasi dibandingkan dengan kegiatan belajar lainnya. Guru bertindak sebagai fasilitator yang menengahi dan sebatas memberikan Brain Storming, selebihnya merupakan kesempatan siswa untuk menyatakan apa yang menjadi pendapatnya.

Ketiga, Sistem Pendidikan dengan budaya iterasi. Karena kemampuan mengekspresikan ide dalam bentuk tulisan adalah sebuah bukti mutlak bangsa berperadaban tinggi. Menulis berbagai hal, menuliskan ide-ide besar, menulis tentang sains, budaya, seni. Sejarah mencatat, semua bangsa besar adalah bangsa yang gemar menulis dan membaca. Pada masa pendidikan era Hindia Belanda kita akan temui banyak sekali surat kabar yang memuat tulisan – tulisan kaum terpelajar. Nama – nama seperti Hatta, Soekarno, Kartini, Natsir, dan banyak lagi adalah mereka yang banyak mengemukakan pendapatnya melalui tulisan.

Dengan ketiga perbedaan yang dijelaskan diatas, kita tidak usah sungkan untuk mengadopsi system pendidikan Negara lain dalam hal ini Belanda sebagai usaha memperbaiki system pendidikan Indonesia, jika 1 abad lalu ketika Indonesia masih dalam keadaan terjajah system pendidikannya mampu melahirkan intetektual terpelajar yang memerdekakan maka harusnya ketika Indonesia sudah merdeka, Intelektual pelajar yang dihasilkan system pendidikan Indonesia bisa jauh lebih baik dari dahulu.

Referensi:

Ananta, Pramoedya.1980. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera di Pantera

Noer, Deliar.2001. Muhammad Hatta, Hati Nurani Bangsa. Jakarta: Kompas

Organisasi[dot]org.2007. Sekolah Pada Zaman Kolonialisme Belanda Di Indonesia. http://organisasi.org/jenis-macam-sekolah-pada-zaman-kolonialisme-belanda-di-indonesia-sejarah-jaman-dulu-jadul diakses tanggal 14 April 2012.



Senin, 07 Mei 2012

Etika Diskusi

1. Bisa saja pendapat saya benar namun tedapat sedikit kesalahan maka ambilan kebenaran dan tinggalkanlah kesalahan yang sedikit itu, atau bisa jadi pendapat saya salah namun terdapat sedikit kebenaran maka tinggalkanlah kesalahan dan ambilah kebenaran yang sedikit itu.

2. Sebagaimana kita yang tidak ingin dianggap salah oleh kebenaran dalam perspektif orang lain, maka orang lain pun tidak ingin dianggap salah oleh kebenaran dalam perspektif kita.

3. Jika berdebat, selalu kuharap kebenaran muncul di lisan lawan bicaraku; dengan begitu aku bertambah ilmu.

4. Imam Hanafi pernah diminta berfatwa untuk menyerang kelompok lain yang berbeda pendapat, ia menolak dan berkata: Bagaimana kalau dimta Tuhan, mereka yang benar dan saya yang salah.

5.Anda benar bukan berati saya salah, Saya benar bukan berarti anda salah.

6. Dalam komunitas ilmu, setiap orang sama. Yang Membedakan: kekokohan konseptual, kecermatan metodologi dan ketajaman analisa.

7. jangalah suatu pribadi/kelompok mengolok - olok pribadi / kelompok lainnya, karena bisa jadi yang di olok - olok itu lebih baik disisi Allah, karena lebih jujur dalam berserah diri kepada Allah. (Quran)