Jumat, 28 Agustus 2015

Koevolusi

Jika kita berupaya sekuat tenaga menemukan sesuatu, dan pada titik akhir upaya itu hasilnya masih nihil, maka sebenarnya kita telah menemukan yang kita cari dalam diri kita sendiri, yakni kenyataan, kenyataan yang harus dihadapi sepahit apapun keadannya.
(Andrea Hirata)

Pada abad ke 17, dalam kepenatannya seorang pemuda dari kota Lincolnshire, kerajaan Inggris Raya bersandar pada sebuah pohon apel yang berbuah, dalam lamuanannya yang panjang tiba-tiba ia dikejutkan dengan buah apel yang jatuh tepat mengenai kepalanya. Semenjak itu dunia ilmu pengetahuan berkembang pesat. Pemuda yang dikemudian hari lebih dikenal dengan Sir Isaac Newton memperkenalkan teori tentang Gravitasi, Hukum Kekekalan Energi dan dimulainya era Fisika klasik. Semenjak itu ilmu pengetahuan merperkenalkan bahwa waktu dan ruang adalah suatu yang mutlak, kita tidak memerlukan objek pertama, objek kedua dan objek ketiga untuk menjelaskan apa yang terjadi, namun dunia Fisika Klasik gagal menjelaskan ketika mencoba mengamati sesuatu yang lebih besar: semesta dan manusia.

Niels Bohr, mulai menjelaskan atom sesuatu yang paling kecil yang membentuk sebuah partikel, lalu Albert Einstein seorang berkebangsaan Jerman mulai mengenalkan Relativitas Umum yang ia lanjutkan dengan Relativitas Khusus untuk kembali menghentak kekakuan Fisika Klasik. Einstein mencoba menerobos alam semesta. Tidak seperti Newton yang menjawab keraguan dengan sesuatu dengan kepastisan, Einstein menjawab kepastian dengan sebuah Paradoks. Era Fisika quantum dimulai.

Fisika quantum memperkenalkan dualisme, paradoks dan relativisme. Semenjak itu kejadian - kejadian masa lalu dan perubahan-perubahan yang terjadi bisa dipelajari. Apa yang menyebabkan bumi ini menjadi layak huni, bagaimana mahluk hidup bertahan dan berevolusi menyesuaikan dengan lingkungan semestanya. Semua yang tak mampu dijangkau oleh fisika klasik dijawab dengan begitu gamblang oleh fisika quantum. Semuanya menyamakan dan terhanyut akan perubahan yang dibawa dengan berkembangnya era quantum.

Tidak hanya tentang alam semesta, era quantum juga memunculkan segala macam teori yang mencoba menjelaskan tentang manusia, filsafat plato, aristoteles mulai dijawab oleh suara-suara baru. Mulai dari Rene Descartes dengan cogito ergo sum sampai dengan Friedrich Nietzsche mulai menyuarakan tak adanya kemutlakan pada setiap zat, semua serba relativ. Setiap manusia mulai berubah menyesuaikan dengan konteks semula, menjawab tantangan era quantum yang berkembang.

Itulah koevolusi, kemampuan makhluk hidup untuk mengubah konteks. Yang semula menjadi musuh akhirnya menjadi teman, dan perubahan itu menciptakan kehidupan baru. Percayalah, ini bukan hanya terjadi di level fisik, tapi juga mental. Ketika bakteri primitif mampu mengubah konteks, tidakkah kamu heran dengan manusia-manusia yang menyerah begitu saja dengan keadaan? Padahal kemampuan itu nyata-nyata diberikan di setiap level kehidupan, dari mulai makhluk bersel tunggal sampai makhluk terkompleks yang ada: kita.

Koevolusi mengajarkan kita, manusia sebagai mahluk paling kompleks yang ada didunia ini untuk selalu dapat merubah konteks, baik fisik maupun mental. Manusia harus mampu menghadapi situasi tersulit yang terjadi padanya, kesulitan fisik tidak akan pernah mampu membuat manusia menjadi hancur, ketika ia mampu mengubah konteks dengan kekuatan mentalnya. Pun kesulitan dalam level mental yang mendera dapat dilawan manusia dengan menyesuaikan diri untuk mengubah konteks yang terjadi. Tidak menyerah dengan keadaan.

Seperti kata Wigner, setiap paradoks akan menimbulkan sebuah paradoks baru. Fisika quantum belum mampu menembus blackhole. Pencarian manusia akan eksistensi kehidupan ini seolah menemui jalan buntu, Tuhan yang mulai terlupakan kembali lagi coba digali keberedaanNya. Ia pengamat ketiga, suatu yang didefinisikan Einstein sebagai Maha Energi. Dimakam Nietzsche yang dahulu tertulis : "God is Dead" sekarang berubah menjadi "Nietzsche is Dead,God is not".

Beragam upaya sekuat tenaga untuk menemukan sesuatu, dan pada titik akhir upaya itu hasilnya masih nihil, maka sebenarnya kita telah menemukan yang kita cari dalam diri kita sendiri, yakni kenyataan. Kenyataan yang harus kita ubah konteks pandangnya, yang semula pahit menjadi manis, yang bermula buruk jadi baik, karena Dzat Maha Energi (jika boleh kita menggunakan istilah Einstein), Dzat yang berbicara kepada pemuda melalui apel yang jatuh di kota Lincolnshire telah menganugrahkan kita kemampuan untuk itu, Koevolusi.

Rabu, 26 Agustus 2015

Kesatria, Putri dan Bintang Jatuh

Judul       : Supernova: Kesatria, Putri dan Bintang Jatuh
Penulis    : Dee Lestari
Penerbit  : Bentang
Halaman : 343
Harga     : IDR 71.500


If you tired of falling in love, try to fall in book, sebuah ungkapan pembuka kenapa saya tiba-tiba mengambil buku pertama dari serial Supernova Dee lestari sebagai sebuah pilihan. Awal mula berkenalan dengan karya Dee Lestari adalah ketika menonton film Rectoverso, namun ada perasaan kurang puas, lalu saya baca versi aslinya (saya memang tipe orang yang selalu tidak puas dengan sebuah film yang diadaptasi dari sebuah Novel).

Back to the notebook. Lalu apa sebenarnya cerita yang di tawarkan Dee dalam seri pertama Supernova ini. Kalau anda membaca sinopsis yang terdapat di cover belakang novel ini, saya rasa anda tidak akan begitu tertarik dengan novel ini. Namun jangan sekali kali: judge the book, only from a synopsis of the back cover.

Pada bagian awal novel, Dee menyajikan sebuah cerita mengenai dua pemuda Indonesia yang sedang belajar di Amerika, Dimas dan Reuben. Pasangan LGBT. Diawal perkenalan mereka, Dee mulai menyajikan, menginfiltrasi pembaca dengan pandangan Post Modernisme nya. Filsafat Hegelian, Helenisme dan Friedrich Nietzsche mulai dikutip dalam percakapan kedua tokoh tersebut. Belum selesai dengan filsafat, Dee mulai menggunakan teori – teori Fisika Quantum, Time Delution Einstein, Teori kucing Edwin Schrodinger sampai dengan dualisme elektron Louis de brouglie. Lalu ditengah – tengah cerita kembali Dee mendiskusikan Sosialisme Karl Marx dan Kapitalisme Adam Smith. Pembaca tentu dimanjakan dengan beragam teori dan sudut pandang yang digunakan penulis namun apa relevansi teori – teori tersebut dalam ceritanya. Apakah ia menjadi elemen fundamental ataukah sebuah gimmick pemanis cerita? Let me try give my own opinion. Check this out.

Gaya penulisan Dee yang menggunakan cerita berbingkai menjadikan novel ini menjadi menarik dari satu sisi namun menjadi kelemahan disisi lainnya. Menjadi menarik karena Dimas dan Reuben yang diciptakan Dee, kemudian membuat sebuah cerita baru dengan menciptakan Kstaria (feere), Putri (Rana) dan Bintang Jatuh (Diva) yang menjadi cerita utama pada Novel ini. Dan menjadi sebuah titik lemah karena Dee gagal menjelaskan kenapa Dimas dan Reuben bisa menciptakan kisah ini, apa latar belakang Dimas dan Reuben sehingga Dee tiba – tiba men direct mereka menjadi seorang penulis profesional.

Lalu bagaimana kisah Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh? Feere sebagai seorang kstaria merupakan seorang pria sukses bepindidikan Amerika, diusianya yang menginjak 29 tahun, ia telah menjadi seorang managing director perusahaan multinasional, berwajah tampan bak selebriti jatuh cinta terhadap sang putri, Rana seorang pimred sebuah majalah, lulusan universitas negeri ternama, telah memiliki seorang suami, Arwin (yang tidak diperkenalkan Dee dengan cukup detail). Bintang jatuh, Diva, seorang perempuan cantik, model, jiwa sosial tinggi, memiliki pekerjaan sampingan seorang pelacur, Robinhood masa kini.

              Feere, sang kesatria jatuh cinta pada Putri, Rana bermula ketika Feere yang memiliki aktifitas super sibuk bersedia diwawancarai oleh Rana, Pimred sebuah majalah baru. Disini Dee mencoba mengaktualisasikan paradoks Einstein dalam ceritanya, dengan membuat Feere yang terbiasa berfikir terstruktur dan sistematis bersedia diwawancara (yang selama ini selalu ditolaknya) karena sesuatu yang bersifat intuitif, ketika itu dia terpesona melihat kupu – kupu diruang kerjanya yang berlantai 56, seketika itu pula ia pula bersedia menerima permintaan wawancara oleh majalah yang memiliki lambang kupu-kupu. Dan dimulainya paradoks dalam logika alam pikiran sang ksatria.

                Namun menurut saya, Dee kurang menjelaskan kenapa sang Putri, Rana jatuh cinta kepada Feere dengan waktu yang amat singkat, Sehingga Rana memberontak terhadap dirinya sensiri, menghianati suaminya Arwin, yang lagi – lagi tidak dijelaskan Dee dengan cukup jelas. Apa perbedaan Arwin dan Feere, sama – sama seorang yang sukses di usia muda, memang tidak ada deskripsi Tampan yang diberikan Dee terhadap Arwin namun, secara sifat Arwin memiliki sifat – sifat ksatria dan pemenang layaknya Feere. Dee mendeskripsikan bahwa Rana menyesal telah menikah dengan Arwin, tidak dijelaskan kenapa penyesalan itu bisa timbul, apakah karena Rana dan Arwin dijodohkan, tidak ada penjelasan, Apakah Rana dipaksa menikah dengan Arwin, pun tidak ada penjelasan. Tiba – tiba Rana, sang putri begitu mudahnya jatuh cinta hanya karena wajah tampan dan obrolan singkat dengan ksatria.

         Paradoks kedua terjadi, Sang Putri menjadi pemberontak, berselingkuh dengan ksatria dan melupakan ksatria yang sesungguhnya Arwin. Dan paradoks ketiga dimunculkan, Bintang jatuh, Diva, perempuan cerdas, berjiwa sosial tinggi, model cantik namun memiliki pekerjaan sampingan sebagai pelacur kelas atas. Yang pada akhirnya menjadi sosok pengganti sang Putri.

              Pada akhirnya Rana, sang putri kembali ke suaminya Arwin setelah melakukan perselingkungan dan pengkhianatan besar terhadap Arwin, yang menurut saya lebih pantas menjadi seorang ksatria sejati. Dan Feere bersama Diva. Tak banyak konflik yang terjadi kecuali pemberontakan dalam diri feere dan Rana.

       Cerita ini diakhiri penulis dengan menciptakan paradoks dalam paradoks seperti teori yang dikemukakan Eugene Paul Wigner. Diva, sang bintang jatuh yang dalam cerita sesungguhnya merupakan sosok antagonis yang merebut tuan putri dari tangan kesatria berubah menjadi Supernova yang memiliki akses begitu luas akan dunia ini, seolah dunia ini berada dalam genggaman sang Supernova. (Finished).

             Cerita berbingkai yang coba dibuat penulis dan beragam teorema fisika quantum yang digunakan penulis terbukti menjadi kekuatan tersendiri dalam cerita ini. istilah - istilah yang digunakan penulis tidak hanya menjadi gimmick  yang tak mempunyai relevansi dari cerita namun membuat perubahan - perubahan setiap tokoh menjadi lebih hidup dan tentunya sangat layak untuk dibaca.

Grab it dude!