Akhir tahun 2010 sampai 3 Bulan awal di tahun 2011, isu mengenai krisis politik di kawasan Timur Tengah masih memanas, dipelopori oleh kejatuhan Zine al-Abidine ben Ali dari tampuk kekuasaan tertinggi di Tunisia, lalu isu ini menjadi efek domino dimana demonstrasi-demonstrasi mulai muncul diberbagai kawasan timur tengah.
Setelah hampir satu bulan penuh rakyat Mesir melakukan demostrasi menuntut mundurnya Hosni Mubarok yang telah 30 tahun memerintah akhirnya sang presiden pun mengundurkan diri setelah sempat menolak untuk mundur, tidak seperti di Mesir dan Tunisia dimana mliter tidak begitu represif dalam melawan demonstran, di Lybia menurut catatan telah hampir 1000 orang demonstran telah terbunuh ditangan militer yang di kendalikan Khadafi walaupun data ini dibantah oleh pemerintah Lybia, sekedar catatan Khadafi telah memimpin Lybia selama 40 Tahun.
Dalam komentarnya untuk Guardian, Fawaz Gerges menyebut rangkaian gejolak yang terjadi di Tunisia, Mesir, Aljazair, dan Yaman merupakan momentum Berlin bagi dunia Arab. Inilah masa ketika tembok Berlin-tembok Berlin otoritarianisme dunia Arab akan berjatuhan. Gejolak ini masih merupakan awal dari serial musim rontok status quo kawasan Timur Tengah. Bagi profesor Politik Timur Tengah dan Hubungan Internasional di London School of Economics itu, kita segera menyaksikan munculnya era baru, tidak hanya di Mesir, tapi juga di kawasan Arab lainnya.
Runtuhnya berbagai kekuasaan yang cenderung otoriter di berbagai Negara kawasan Teluk ini dapat dikatakan sebagai era baru untuk perbaikan system politik timur tengah , Kawasan dengan jumlah muslim terbesar ini ternyata memang tidak terlalu bersatu dalam hal kerja sama, mereka cenderung bersaing dan sering bertikai, perang teluk antara Irak Iran pun masih terasa baru kemarin sore berakhir, mengutip Saad Eddin Ibrahim, sosiolog Mesir, Ia mengatakan bahwa kekuasaan di Arab dapat disebut jumlukiyyah Arabiyyah atau Republik-Monarkhis Arab. Kata jumlukiyyah merupakan perpaduan antara kata jumhuriyyah (republik) dengan mamlakiyyah (monarkhi). Berbagai peristiwa yang terjadi di Timur Tengah belakangan ini mungkin akan menjadi saksi runtuhnnya jumlikiyyah Arabiyyah atau Republik Monarki di Negara-negara Arab.
Menurut Novriantoni Kahar, salah seorang pengamat Timur Tengah, Masyarakat Arab kini berupaya mereplikasi dan mempercepat terjadinya Tunisiasi di negeri mereka sendiri. Beberapa penguasa memang sudah bertahta sekian lama dan punya rekam jejak korupsi dan kediktatoran yang cukup panjang dan membosankan. Di Mesir, Mubarak sudah menjabat sudah 30 tahun, Saleh di Yaman 32 tahun, bahkan di Libya, Khaddafi sudah 42 tahun bertahta. Lama dan besarnya kekuasaan para presiden di negeri-negeri tersebut membuat masyarakat Arab berpikir bahwa hanya menghidupkan orang mati dan menerbitkan matahari yang tak bisa mereka lakukan.
Setelah hampir satu bulan penuh rakyat Mesir melakukan demostrasi menuntut mundurnya Hosni Mubarok yang telah 30 tahun memerintah akhirnya sang presiden pun mengundurkan diri setelah sempat menolak untuk mundur, tidak seperti di Mesir dan Tunisia dimana mliter tidak begitu represif dalam melawan demonstran, di Lybia menurut catatan telah hampir 1000 orang demonstran telah terbunuh ditangan militer yang di kendalikan Khadafi walaupun data ini dibantah oleh pemerintah Lybia, sekedar catatan Khadafi telah memimpin Lybia selama 40 Tahun.
Dalam komentarnya untuk Guardian, Fawaz Gerges menyebut rangkaian gejolak yang terjadi di Tunisia, Mesir, Aljazair, dan Yaman merupakan momentum Berlin bagi dunia Arab. Inilah masa ketika tembok Berlin-tembok Berlin otoritarianisme dunia Arab akan berjatuhan. Gejolak ini masih merupakan awal dari serial musim rontok status quo kawasan Timur Tengah. Bagi profesor Politik Timur Tengah dan Hubungan Internasional di London School of Economics itu, kita segera menyaksikan munculnya era baru, tidak hanya di Mesir, tapi juga di kawasan Arab lainnya.
Runtuhnya berbagai kekuasaan yang cenderung otoriter di berbagai Negara kawasan Teluk ini dapat dikatakan sebagai era baru untuk perbaikan system politik timur tengah , Kawasan dengan jumlah muslim terbesar ini ternyata memang tidak terlalu bersatu dalam hal kerja sama, mereka cenderung bersaing dan sering bertikai, perang teluk antara Irak Iran pun masih terasa baru kemarin sore berakhir, mengutip Saad Eddin Ibrahim, sosiolog Mesir, Ia mengatakan bahwa kekuasaan di Arab dapat disebut jumlukiyyah Arabiyyah atau Republik-Monarkhis Arab. Kata jumlukiyyah merupakan perpaduan antara kata jumhuriyyah (republik) dengan mamlakiyyah (monarkhi). Berbagai peristiwa yang terjadi di Timur Tengah belakangan ini mungkin akan menjadi saksi runtuhnnya jumlikiyyah Arabiyyah atau Republik Monarki di Negara-negara Arab.
Menurut Novriantoni Kahar, salah seorang pengamat Timur Tengah, Masyarakat Arab kini berupaya mereplikasi dan mempercepat terjadinya Tunisiasi di negeri mereka sendiri. Beberapa penguasa memang sudah bertahta sekian lama dan punya rekam jejak korupsi dan kediktatoran yang cukup panjang dan membosankan. Di Mesir, Mubarak sudah menjabat sudah 30 tahun, Saleh di Yaman 32 tahun, bahkan di Libya, Khaddafi sudah 42 tahun bertahta. Lama dan besarnya kekuasaan para presiden di negeri-negeri tersebut membuat masyarakat Arab berpikir bahwa hanya menghidupkan orang mati dan menerbitkan matahari yang tak bisa mereka lakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar...