Selasa, 03 Januari 2012

Pengaduan Iqbal pada Allah dan Rumi

Tulisan: Ahmad Syafii Maarif (Kolom Resonansi Republika Maret 2011)




Muhammad Iqbal (1877-1938) dari India yang legendaris mungkin merupakan penyair-filsuf terbesar Muslim pada abad yang lalu. Puisi-puisinya dalam bahasa Urdu dan Persi tetap saja tidak mengering untuk dibaca. Puisi itu masih saja mengilhami. Di antara puisi pengaduannya yang panjang kepada Tuhan, ditulis dalam bahasa Urdu, yaitu "Syikwah wa Jawab-i Syikwah" (Pengaduan dan Jawaban terhadap Pengaduan).

Oleh mantan dosennya, AJ Arberry, diterjemahkan menjadi "Complaint and Answer". Terjemahan lain dilakukan oleh Khushwant Singh berjudul serupa dengan Arberry, tetapi ditambahkan dengan "Iqbal's Dialogue with Allah" dan disertai bahasa aslinya.

Syikwah yang pertama kali dibaca tahun 1909 di Lahore adalah semacam protes Iqbal terhadap Allah mengapa umat Islam dibiarkan merana tak berdaya, padahal tanpa mereka yang selalu menyembah Allah Yang Esa, para penyembah berhala dan pohon akan semakin menjamur di muka bumi. Banyak lagi tema lain dalam syikwah ini, tetapi satu sama lain saling bertali berkelindan.
"Jawab-i Syikwah" dibaca di Lahore tahun 1913 dalam rangka mengumpulkan dana untuk membantu Turki Usmani yang sedang mendapat serangan dari Bulgaria. Tema "Jawab-i Syikwah" pada umumnya merupakan jawaban Allah terhadap keluhan Iqbal atas kondisi dunia Islam yang terbelah berserakan. Di antara jawaban itu adalah mengenai penguasa Muslim yang mabuk dalam kekuasaan, sementara si miskin berkumpul di masjid untuk berdoa dalam keadaan lapar di bulan Ramadhan.
   
Kemudian, adanya keluhan pahit dan getir dalam syikwah tentang kemungkinan punahnya umat Islam dari muka bumi, "Jawab-i Syikwah" balik bertanya:
Ada pembicaraan keras tentang umat Islam akan lenyap dari muka bumi.
Kami bertanya kepadamu: apakah benar umat Islam wujud di mana-mana, di tempat mana pun? Gaya hidupmu bercorak Kristen, kulturmu bercorak Hindu.
Seorang Yahudi saja akan merasa malu saat melihat umat Islam seperti engkau. Kamu para Sayyid juga Mirza, dan kamu orang Afganistan-Kamu adalah semuanya ini, tetapi katakan kepada kami apakah kamu juga Muslim?' Sangat tajam, bukan?
Apakah mereka ini benar-benar Muslim, sedangkan semua identitasnya telah lama berguguran? Bagaimana kita yang hidup sekarang, apakah juga kena sasaran tembak? Ya, tidak diragukan lagi, dan saya seorang di antaranya.

Kutipan ini hanyalah sepotong kecil pengaduan Iqbal dan jawaban Allah kepadanya. Selanjutnya, kita ikuti jawaban Jalal al-Din Rumi (1207-1273), penyair Sufi dari Persia, terhadap keluhan imajiner Iqbal dalam "Bal-i Jibril" diambil dari karya Fazlur Rahman, "Islam and Modernity", hlm. 58. Inilah keluhan getir Iqbal itu:
Pikiranku tinggi menerawang mencapai langit.
Tapi di bumi aku terhina, gagal, dan dalam sekarat.
Aku tak mampu menangani masalah dunia ini,
Dan, tetap saja menghadapi batu penarung di jalan ini.
Mengapa urusan dunia terlepas dari kontrolku?
Mengapa si alim dalam agama bahlul dalam urusan dunia?
Rumi dengan enteng memberi jawaban, tetapi langsung mengenai jantung persoalan: Seseorang yang (mengaku mampu) berjalan di langit; Mengapa begitu sulit baginya berjalan di bumi?

Inilah masalah serius dunia Islam yang masih saja berlangsung sampai hari ini. Kita mengaku sebagai umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, tetapi dalam kenyataannya di bumi tersungkur, dimainkan pihak lain, dan kita pun rapuh tak berdaya. Terlalu berjibun masalah yang mengitari kita, di mana pun di sudut dunia, tetapi perpecahan umat dan perselingkungan ulama dan penguasa yang semakin memperburuk keadaan belum juga usai. Untuk berapa lama lagi suasana sekarat semacam ini "setia" bersama kita?

Tetapi, tuan dan puan jangan membiarkan diri hanyut dalam kerisauan dan ratapan, seperti acap menimpa saya. Sebab, pasti di ujung sana ada cahaya berkedip untuk menuntun kita ke jalan penyelesaian. Syaratnya tunggal: beriman dan berislam secara autentik di bawah bimbingan kenabian, seperti terbaca dalam "Jawab-i Syikwah" di atas.

Jangan menempuh jalan di luar itu yang hanya akan menyeret kita ke dalam lingkaran setan yang tak jelas ujung pangkalnya. Semuanya ini menuntut ketulusan dan sikap hati yang bening, sebuah nilai dan kualitas yang teramat mahal, tetapi jawaban ada di sana!

1 komentar:

Silahkan tinggalkan komentar...